Sepintas, istilah ini sering dikaitkan dengan mentalist Deddy Corbuzer. Tapi yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya dengan sulap. Sebelum beranjak tidur saya teringat pada seorang Yahudi yang diceritakan Stephen Covey dalam bukunya: The Seven Habits Efective People.
Yahudi ini (maaf saya lupa namanya) adalah salahseorang penghuni camp tahanan Nazi Jerman. Ketika ahirnya Jerman kalah, dan para tahanan dibebaskan. Sebagian besar tahanan yang mengalami penyiksaan fisik dan mental di luar batas kemanusian itu menderita gangguan jiwa, trauma berkepanjangan dan atau selalu dihantui mimpi buruk selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, hal ini tidak terjadi pada seorang tahanan Yahudi satu ini, ia tetap dengan pikiran yang waras, sehat wal afiat, bahkan dengan memiliki ide-ide besar justru setelah keluar dari camp Nazi ini.
Ternyata, selama ini hanya fisiknya yang disiksa dan dipenjara, sedang fikirannya tetap bebas mengembara kemana-mana. Ketika disiksa, ia membayangkan kehidupan yang indah dan samasekali berbeda dengan keadaan di penjara. Boleh jadi tentara Nazi menyiksa fisiknya, tapi tak pernah benar-benar bisa memasung kemerdekaan pikirannya.
Inilah kekuatan pikiran, ia bisa menembus realitas ruang dan waktu, meruntuhkan teralis besi serta kelamnya tembok penjara. Tesis ini pernah pula dibuktikan oleh orang seperti Buya Hamka, ia justru dapat menyelesaikan karyanya dari balik tembok penjara.
Sedikit mundur ke belakang, dulu ketika dunia kedokteran belum mengenal anastesi (pembiusan), pundak seorang sahabat pernah tertancap anak panah yang cukup dalam. Dan tidak seorangpun benar-benar berani mencabut anak panah tersebut. Tapi sahabat yang gagah berani ini mengatakan:
“Cabutlah ketika saya sedang shalat…”
Dan itulah yang dilakukan teman-temannya. Ketika sahabat ini shalat, anak panah itu ditancapkan lebih dalam lagi hingga menembus daging, lalu keluar sisi yang berbeda. Tapi sedikitpun ia tidak menyadari kapan tepatnya anak panah itu dicabut, sampai ia menuntaskan shalatnya, baru ia sadar bahwa anak panah itu sudah tercabut.
Orang-orang yang saya ceritakan ini adalah manusia biasa seperti kita juga. Yang membedakan adalah kemampuan mereka dalam berkonsentrasi, menguasai dan memainkan pikiran. Mereka mampu mengontrol dan mengarahkan pikiran mereka hingga menembus realitas yang sebenarnya. Kitapun sesungguhnya pernah megalami keadaan yang persis demikian. Kita berada disuatu tempat, tapi pikiran kita melayang entah kemana, dan pada saat yang sama kita tidak tahu apa yang terjadi di sekeliling kita. biasanya kita menyebutnya “bengong”
Lalu mengapa hal ini tidak kita asah ke arah yang lebih positif, sehingga dalam keadaan-keadaan tertentu kita dapat menggunakan kemampuan ini. Misalnya ketika seseorang menyakiti kita, baik secara fisik maupun verbal, pikirkan saja yang indah-indah, atau sesuatu yang menyenangkan. Biarkan saja seseorang mengomel sampai berbusa, dan kita tetap dalam keadaan sehat wal afiat, hati dan pikiran kita bebas dari dendam atau sakit hati…
Sesungguhnya, kita tidak menjadi lebih rendah karena dihina orang lain, begitu pula tidak menjadi lebih terhormat karena seseorang memuji-muji kita… kita sendirilah yang menentukan semua itu. Pikiran kitalah yang menentukan apakah kita sakit atau tidak terhadap tindakan orang lain… Memang menangis terkadang perlu untuk menampilkan sisi-sisi kemanusiaan kita, tapi bukankah lebih baik jika kita jalani hidup ini dengan pikiran dan hati yang terbuka sebebas-bebasnya..?
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah kata yang tertangkap oleh indra pendengaran kita akan merangsang pikiran kita pada suatu asumsi tertentu. Ilmu Psikologi membuktikan hal ini, misalnya, jika saya katakan pada anda “mangga muda, atau jeruk nipis” maka pikiran anda akan tergambar sesuatu yang asam dan pada saat yang sama tubuhpun memberikan reaksi dengan memproduksi air liur.. (silahkan dibuktikan) atau kalau saya katakan “Tentara” maka bayangan yang akan tergambar adalah sosok tegap, berambut cepak, seragam loreng dsb..
Yang saya maksud di sini, adalah bagaimana pada situasi tertentu kita dapat menyiasati sikap buruk dan perkataan orang lain dengan bebas nilai. Artinya seburuk apapun perkataan dan prilakunya toh tidak punya makna apa-apa, atau tidak akan menimbulkan dampak tertentu pada diri kita. Karena pada saat itu, pikiran kita sedang mengembara jauh, membayangkan sesuatu yang indah atau yang kita cintai..
Sampai di sini, saya teringat dengan seorang budak yang disiksa majikannya (Ahh, saya selalu menitikkan airmata bila mengingat manusia satu ini). Ia dicambuki hingga dagingnya terlepas dari kulit, disiram dan dijemur diterikpanasnya matahari gurun, ditelanjangi lalu dipertontonkan di depan umum, bahkan orang lainpun dipersilahkan ambil bagian mencambuki budak kulit hitam ini.. Pada saat-saat seperti ini, dari mulut Budak hitam ini keluar ucapan “Hu, Hu, Hu” yang maksudnya adalah: “Allah, Allah, Allah”
Budak ini bernama Bilal, ketika ahirnya ia bebas dari teror majikannya Umayyah bin Khalaf, terungkap satu fakta bahwa yang membuat ia mampu melewati siksaan fisik itu adalah kemerdekaan pikirannya.. hati dan pikirannya selalu terpaut pada yang ia cintai, yaitu Allah…
Lalu mengapa kita tidak belajar dari orang-orang seperti mereka. Dan menjadikan Allah sebagi pusat orientasi hidup...
Comments
Post a Comment
Do you have any comments, concerns or inquiries? Or else, just drop me a note to say hi! :)